
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa kasus dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending telah memasuki tahap pemberkasan. Persidangan atas kasus ini diperkirakan akan berlangsung pada Mei 2025.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur menjelaskan bahwa saat ini kasus tersebut sedang dalam proses pemberkasan sebelum menuju persidangan. Ia pun menyampaikan estimasi waktu penggelaran sidang tersebut.
“Jadwalnya masih belum ada, namun jika mengikuti jumlah hari pemberkasan, bisa jadi di bulan Mei,” ungkap Deswin saat dikonfirmasi oleh CNBC Indonesia, Rabu, (12/3/2025).
Deswin menambahkan bahwa dugaan pelanggaran dalam kasus ini terkait dengan kesepakatan penetapan harga bunga pinjol. Perilaku yang dipermasalahkan terjadi sebelum tahun 2023, sebelum kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai bunga pinjaman diberlakukan.
Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen OJK, Rizal Ramadhani, menegaskan bahwa pihaknya mendukung langkah KPPU dalam menangani kasus ini. Menurutnya, OJK pada awalnya tidak mengintervensi pasar pinjaman daring (pindar) karena prinsip dasarnya adalah interaksi antara penawaran dan permintaan.
“Tapi kita sekarang kontrol disini, efeknya juga kontrol ke suku bunga. Karena ada variabel-variabel yang menentukan suku bunga yang kita atur disini. Kalau Pindar udah terlaluan. Pindar itu kan sebenarnya positif,” kata Rizal.
Rizal pun mengakui bahwa suku bunga pinjol cenderung tinggi karena dihitung secara harian dan mayoritas tenor pinjaman hanya berlangsung maksimal tiga bulan. Meskipun membantu masyarakat, terutama UMKM, banyak yang menggunakannya untuk kebutuhan konsumtif, bukan untuk usaha.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan 44 perusahaan pinjol sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran aturan anti-monopoli. Platform fintech peer-to-peer lending tersebut diduga mengatur harga.
Dalam siaran pers, KPPU menjelaskan bahwa kasus kartel pinjol kini telah ditingkatkan dari proses penyelidikan awal ke tahapan penyelidikan. Dalam tahap penyelidikan, 44 perusahaan ditetapkan sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
KPPU akan memanggil semua pihak termasuk 44 pinjol sebagai terlapor, saksi, dan ahli untuk mengumpulkan alat bukti dugaan pelanggaran.
Dalam tahap penyelidikan awal, KPPU menemukan bahwa Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab. Pedoman itu dinilai mengatur jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari. Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4 persen per hari.
Dari informasi yang dikumpulkan, termasuk dari 5 penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan, KPPU telah mengantongi satu alat bukti pelanggaran UU anti-monopoli.