
Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkapkan potensi bisnis pisang ulin di Provinsi Sulawesi Tenggara meningkat berkat adanya Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kepala Regional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Sulawesi Tenggara Rifani Agnes Eka Wahyuni dalam gelar wicara di ANTARA Heritage Center, Jakarta, Selasa, menyampaikan masyarakat di wilayahnya selama ini hanya mengonsumsi pisang ulin untuk pribadi.
“Ada salah satu cerita yang menarik yang kami temukan di lapangan Sulawesi Tenggara, bagaimana komoditas pisang, pisang ulin atau pisang burung emas itu yang mungkin selama ini oleh masyarakat itu hanya untuk konsumsi pribadi, ternyata dengan program MBG ini kemudian masyarakat melihat bahwa ada peluang potensi bisnis di situ,” katanya.
Menurut dia, kebijakan BGN untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi pangan lokal dalam Program MBG mampu memacu masyarakat untuk melihat potensi bisnis dari produk pertanian di wilayahnya masing-masing untuk peningkatan perekonomian lokal.
“Pisang menjadi salah satu buah yang kami gunakan untuk makanan yang dalam ompreng yang kami berikan ke penerima manfaat. Buah yang tadinya hanya dibiarkan tumbuh dengan alam, sekarang sudah melakukan proses-proses pertanian, dirawat, diberi pupuk, dibersihkan untuk meningkatkan kualitas produksinya,” ujar dia.
Agnes juga mengemukakan, pelaksanaan SPPG di Sulawesi Tenggara menekankan pada gaya hidup bebas sampah atau zero waste dengan meminimalkan beban dari sisa makanan dari MBG.
“Dalam pelaksanaan SPPG itu kita sebisa mungkin zero waste, atau dalam hal ini tidak ada sampah yang menjadi beban dari tempat pembuangan sampah lagi, bagaimana kemudian kami, contoh yang nyata di lapangan itu mengolah sisa-sisa makanan, food waste yang diambil dari penerima manfaat karena sesuai SOP kami, jika ada makanan yang tersisa di ompreng anak-anak penerima manfaat, kami tetap ambil,” paparnya.
Sisa makanan tersebut kemudian dievaluasi oleh SPPG dan ditimbang kembali untuk evaluasi menu. Kemudian, jika ditemukan bahan baku yang kurang diminati, akan diolah ulang untuk diberikan kepada para petani dan peternak.
“Misalnya ditemukan ternyata daya serap dari menu tertentu mungkin agak kurang, sehingga kami perlu evaluasi harus diapakan bahan baku ini, harus diapakan menu seperti ini. Sampah-sampah food waste ini kemudian kami berdayakan dengan petani dan peternak, salah satu contohnya di Kota Bau-Bau, bagaimana kemudian camatnya membuat rumah maggot dan rumah kompos yang itu kemudian menjadi sumber pakan tenak dan sumber pupuk kompos,” tuturnya.