“Lelanane Jangka Gunung” mengantar negeri berjalan pulang

"Lelanane Jangka Gunung" mengantar negeri berjalan pulang
Para pegiat Komunitas Lima Gunung berjalan mengelilingi Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam rangkaian performa ritual doa “Lelanane Jangka Gunung” untuk kebaikan bangsa dan negara di Magelang, Kamis (4/9/2025) petang. ANTARA/Hari Atmoko

Permintaan maaf para elite penguasa karena telah mengelola bangsa dan negara secara tak pantas akhirnya bergaung setelah rakyat secara tegas meletakkan cermin agar mereka menyadari bahwa pemimpin selain legal, mestinya juga bijaksana dan berwibawa.

Tentu saja permintaan itu tak cukup hanya bergaung di langit pernyataan. Harus dilanjutkan dengan segera melalui langkah-langkah riil perbaikan yang hasilnya dinilai publik sebagai terbukti bagi kebermanfaatan dan memenuhi kebutuhan rakyat.

Seakan hendak menegaskan bahwa rakyatlah juragan mereka dan para elite sesungguhnya bekerja untuk juragan, itulah puisi tak berjudul yang dihadirkan secara lantang oleh penyair Magelang Munir Syalala.

Ia membacakan puisi itu dalam rangkaian performa ritual doa, “Lelanane Jangka Gunung”, diselenggarakan Komunitas Lima Gunung di Candi Mendut dan dilanjutkan di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (4/9) petang hingga menjelang tengah malam.

Pegiat komunitas itu meliputi seniman petani berbasis dusun di lima gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang mengelilingi Kabupaten Magelang dengan jejaringnya di berbagai tempat, antara lain budayawan, pemerhati seni dan tradisi, pelajar, mahasiswa, dan akademisi. Munir salah satu bagian lingkaran energi komunitas tersebut.

Penggalan besar bait kedua puisi itu, “Bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kita punya sistem. Kita punya hukum. Kita punya aparat. Tapi apakah semua itu sungguh berpihak pada kita? Atau hanya panggung besar, dan kita dipaksa jadi penonton yang bayar tiket, tanpa pernah boleh ikut menentukan ceritanya?”.

Terpaan nyala api dari puluhan obor di sela-sela patung-patung batu di studio yang menjadi pusat aktivitas, perpustakaan, dan jejak komunitas, memperkuat pesan bahwa acara itu merefleksikan kegundahan rakyat yang sudah mencapai ubun-ubun atas pengurusan negeri yang tak beres. Kegundahan itu mewujud dalam unjuk rasa setidaknya dalam dua pekan terakhir di berbagai kota maupun melalui platform-platform digital.

Bukan hanya Munir tampil malam itu. Para penyair dan pegiat seni lainnya, seperti Wicahyanti Rejeki, Novian Nugroho, Siwi Siwi Kawuryan Winangsit, Hudi Danu Wuryanto, Haris Kertarahardjo (Lie Thian Hauw), dan Danu “Sang Bintang” Wiratmoko, menghadirkan puisi-puisi dan geguritan, baik karya sendiri maupun sastrawan besar Indonesia, seperti WS Rendra, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Wiji Thukul. Pembawa acara yang juga dalang Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo, menyebut dengan elegan malam itu sebagai “Parade puisi Lima Gunung untuk negeri”.

Performa ritual “Lelanane Jangka Gunung” diawali dengan prosesi berjalan tanpa alas kaki para pegiat Komunitas Lima Gunung dari Studio Mendut menuju Candi Mendut, berjarak sekitar 300 meter. Setiap peserta jalan kaki mengenakan pakaian bernuansa serba warna putih. Sajian makanan untuk mereka yang hadir di pementasan di Studio Mendut malam itu, juga serba berwarna putih, yakni nasi gurih putih, bihun, kerupuk putih, ubi kayu, dan air putih. Simbol usaha mengatasi negeri dari keadaan muram dan keruh saat ini.

situs slot 777

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*