Lonjakan pengangguran terutama di kalangan generasi Z alias gen Z kini tengah menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Anggota Komisi IX DPR RI Charles Meikyansah pun mendorong pemerintah untuk memberi atensi lebih.
“Polemik susahnya Gen Z mencari pekerjaan itu memang harus dibahas lebih komprehensif ya. Apa masalah yang sebenarnya dan bagaimana cara mengatasinya, agar segera mendapat solusi untuk generasi muda ini,” ujar Charles, dikutip Minggu (18/8/2024).
Charles menyoroti isu Gen Z yang sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini membuat miris mengingat seharusnya Gen Z saat ini berada dalam usia produktif.
“Ini kan ramai di media sosial, Gen Z sulit mendapat kerja karena kebijakan dan syarat mendapat pekerjaan terlalu sulit. Pemerintah harus beri atensi lebih dan segera temukan solusinya,” ujar Charles.
Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, ada 3,6 juta Gen Z usia 15-24 yang menganggur tahun ini. Sementara total pengangguran terbuka di Indonesia ada di angka 7,2 juta. Itu artinya, Gen Z menyumbang 50,29% dari total pengangguran terbuka di Indonesia.
Jika ditambah dengan mereka yang tergolong bukan angkatan kerja tetapi tidak sedang sekolah atau pelatihan (Not in Employment, Education or Training/NEET), jumlah pengangguran mencapai 9,9 juta.
Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda.
Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang harusnya tengah di masa produktif.Gen Z merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 12-27 tahun.
Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang berstatus NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
Menurut Charles, walaupun masalah budaya kerja hingga perilaku Gen Z yang dinilai dapat mengubah sistem kerja di perusahaan, hal itu seharusnya tidak serta merta membuat mereka ‘disingkirkan’ dari persaingan dunia kerja.
“Gen Z ini memiliki keunggulan di industri kreatif, yang sangat penting dan dibutuhkan dalam era digital saat ini, mereka seharusnya bisa diberdayakan dengan baik dan diberikan pendidikan non formal tentang budaya kerja,” jelas Legislator Dapil Jawa Timur IV itu.
Memang belakangan banyak Perusahaan yang mengeluhkan etika kerja Gen Z yang tidak biasa dan kerap membuat rugi perusahaan. Dalam dunia kerja, Gen Z diketahui memiliki kekhasan sendiri karena mayoritas memilih pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhannya seperti work life balance, bekerja remote, dan sangat konsen terhadap komponen gaji.
“Sebenarnya baik ya tuntutan-tuntutan itu, namun banyak perusahaan yang masih memiliki budaya kama di mana menuntut karyawan militan dalam bekerja. Harus ada formulasi yang adil agar ada win-win solution untuk semua,” terang Charles.
Diketahui, kini jumlah pengangguran semakin meningkat. Berdasarkan data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker), pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.
Namun, diketahui bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki program vokasi Indonesia. Vokasi merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap perbaikan tenaga kerja di Indonesia.
Sekolah Vokasi di Indonesia
Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan sering menyinggung tentang pentingnya sekolah vokasi bagi Indonesia. Sekolah vokasi sama pentingnya dengan infrastruktur. Dunia kini sudah berubah, kalau kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak dipersiapkan dengan baik, Indonesia akan tertinggal dalam perubahan dunia tersebut.
Beliau menambahkan perubahan sangat cepat, dari internet beralih ke mobile internet, lalu dari mobile bergeser ke artificial intelligence, robotics, tesla hyperloop. Itulah sebabnya, sekolah semacam politeknik dan vokasi, sangat diperlukan jika kualitas SDM di Indonesia tidak ingin tertinggal dari negara lain.
Sekolah vokasi adalah pendidikan keahlian setara dengan politeknik. Pada dasarnya pendidikan yang lebih berorientasi pada penerapan ilmu. Lulusannya harus berkompeten dan terampil dalam bekerja. Begitu juga dengan para pengajarnya, harus memiliki sertifikasi profesi. Model pembelajaran sekolah vokasi berbeda dengan sistem pendidikan akademik seperti jenjang Sarjana, Magister atau Doktor.
Jika pada pendidikan akademik menekankan ilmu pengetahuan, sekolah vokasi menekankan pembelajaran yang terstruktur dan keahlian yang lebih driven atau terarah. Menurut data Kemenristekdikti, pendidikan vokasional di Indonesia terdiri dari 1.365 lembaga pendidikan, di antaranya 1.103 akademi kejuruan dan 262 politeknik. Pendidikan vokasi di Indonesia hanya 16 persen dari seluruh institusi pendidikan yang ada di tanah air.
Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan negara China/ Tiongkok, dimana 56 persen perguruan tingginya merupakan pendidikan vokasi.
Pada intinya, sekolah vokasi diarahkan untuk mencetak lulusan yang siap bekerja sesuai kebutuhan dunia kerja saat ini. Oleh sebab itulah sekitar 70% dari isi program pembelajaran merupakan praktik di industri.