Latihan di Sungai Sama Buaya, Anak Desa Jadi Atlet Olimpiade

Foto: AP/ROB GRIFFITH

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sydney Olympic Park Aquatic Centre, rasa kagum Eric Moussambani tak bisa ditutupi. Baru kali ini dia melihat langsung apa yang selama ini hanya bisa disaksikan di televisi. Kolam renang super besar, lengkap dengan hiruk pikuk sorakan penonton.

Perjalanan Eric sebagai atlet renang Olimpiade utusan Guinea memang berbeda dibanding para atlet lainnya.

Dia mewakili negara jadi atlet Olimpiade bukan dari kualifikasi resmi. Namun, mendapat ‘golden ticket’ Olimpiade Sydney tahun 2000 karena negaranya dikategorikan negara miskin.

Dia juga tak seperti atlet lain. Eric hanya anak desa dan tak pernah tahu dunia luar. Dia juga baru bisa belajar renang 8 bulan sebelum perhelatan. Itupun tak berlatih di kolam renang mumpuni, melainkan di danau dan sungai yang sangat mempertaruhkan nyawa. Di lokasi tempat dia latihan, seringkali ada buaya ganas yang siap menerkam kapan saja.

Foto: AP/ROB GRIFFITH
Overnight swimming sensation, Eric Moussambani from Equatorial Guinea waves to a pool full of onlookers after he completes his 50m demonstration at the Cook & Philip Pool in Sydney, Australia, Wednesday, September 20, 2000. Moussambani, one of the four-person swim team from Equatorial Guinea was given the Speedo Fast.Skin bodysuit to test in the pool Wednesday. (AP Photo/Rob Griffith)

Dia baru bisa berlatih di kolam renang mumpuni beberapa minggu sebelum terbang dari Guinea ke Sydney. Atas kondisi demikian, rasa kagum itu juga berbarengan rasa takut.

Dia menyadari tak mungkin bisa menang perlombaan 100 meter. Baginya yang terpenting tidak bikin malu. Maka, saat letusan pistol tanda memulai perlombaan, dia bertekad menyelesaikan pertandingan tanpa harus menang.

Awalnya berjalan lancar, tapi saat sudah mencapai jarak 50 meter semuanya berubah. Eric panik melihat pesaingnya sudah lebih jauh. Seketika, kaki dan tangannya tak bisa digerakkan.

“Pada 50 meter terakhir itu, sejujurnya, saya sangat lelah sehingga saya ingin berhenti,” katanya kepada Sydney Morning Herald.

Di kondisi ini, Eric merasa sangat malu. Dia merasa gagal, tapi tak bisa keluar begitu saja dari kolam renang. Alhasil, dia memaksa menggerakkan kaki dan tangannya kembali untuk sampai di garis finish sembari disemangati 17.500 penonton.

Dia menyelesaikan pertandingan dalam waktu 1 menit 52 detik, waktu terlama yang diraih atlet Olimpiade sepanjang sejarah. Usai berenang, dia langsung ganti baju dan kembali ke penginapan. Beristirahat dan mengurung diri dari siang hingga sore.

Toh, dia sudah jadi atlet gagal yang pasti tak lagi disorot khalayak. Namun, apa yang terjadi setelahnya berbeda 180 derajat. Saat keluar kamar, dia kaget sebab fotonya ada di mana-mana.

“Ketika bangun, di televisi saya bisa melihat foto-foto saya. Saya pikir saya melakukan sesuatu yang salah,” ungkapnya.

Rupanya satu dunia menjadikan aksinya sebagai inspirasi, alih-alih dicemooh. Aksi Eric, anak desa yang jadi atlet Olimpiade, membukakan mata dunia ihwal perjuangan dan semangat.

Sekalipun berasal dari negara kecil di Afrika yang sama sekali tak memikirkan sektor olahraga, Eric membuktikan bahwa dirinya mampu meski tak menang. Seketika kehidupannya langsung bak selebriti.

“Orang-orang mengundang saya ke banyak tempat. Bahkan, saat di Sydney mau belanja sepatu, pemilik toko bilang sepatu itu jadi hadiah buat saya,” kata Eric.

Di Guiena, kesuksesan menyelesaikan Olimpiade membuatnya bak pahlawan. Dia terkenal dan memantik pemerintah membenahi sektor olahraga. Setelah Olimpiade Sydney 2000, Eric berlatih serius untuk menghadapi Olimpiade Athena 2004.

Sayang, hasil latihan itu tak bisa dibuktikan sebab dia gagal ke sana terhalang administrasi. Kini, dia fokus menjadi pelatih renang dan bermimpi membawa medali Olimpiade untuk negaranya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*