Mimpi Tambang Tetap Ramah Lingkungan dan tentunya Manusia

FILE - In this Aug. 12, 2015, file photo, Environmental Protection Agency contractors repair damage at the site of the Gold King mine spill of toxic wastewater outside Silverton, Colo. The Environmental Protection Agency had no rules for working around old mines when the agency inadvertently triggered the massive spill from the Colorado mine that polluted rivers in three states, government investigators said Monday, June 12, 2017. (AP Photo/Brennan Linsley, File)
Foto: Ilustrasi kegiatan pertambangan. (AP/Brennan Linsley)

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan melancong ke Ternate, Maluku Utara (Malut). Ini perjalanan mewah karena tiket pesawat ke Ternate jauh lebih mahal dibandingkan ke Hong Kong. Namun bangku pesawat seluruhnya penuh. Ini artinya daya beli kita tak masalah meski ada isu kelas menengah kini makan tabungan.

Di sela perjalanan, penulis buku Bahlil Lahadalia, Neneng Herbawati menghubungi saya. Dia minta saya menghaluskan draf buku terbaru menteri kelahiran Banda, Maluku Tengah yang besar di Fakfak, Papua tersebut. Buku itu akan jadi buah tangan saat Bahlil ujian disertasi di Universitas Indonesia.

Data-data di dalam buku terbaru bos Kementerian Investasi yang sudah dilantik menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu bikin tersenyum. Ternyata Indonesia masih menarik bagi investasi asing.

Fakta ini sebetulnya bukan hal baru, karena saat pandemi Covid-19 membekap Indonesia, Bahlil berperan besar meraup investasi asing ke dompet pemerintah yang megap-megap mesti rogoh kantong kiri-kanan menopang ekonomi yang tak berputar.

Jika saya seorang tukang tambal ban, saya akan ibaratkan dompet negara itu ibarat ban motor. Jika pendapatan nasional diibaratkan isi tekanan angin ban maka komponennya adalah pengeluaran rumah tangga (konsumsi), investasi dan pengeluaran pemerintah.

Itu masih ditambah oleh selisih ekspor dan impor. Ban bocor terjadi saat impor lebih besar dari ekspor. Ketika ban bocor, maka mau tidak mau pemerintah harus menambah lewat konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah.

Saya masih ingat, sekitar pekan akhir April 2020, saya menghubungi Muchammad Iqbal, Pejabat Promosi Investasi BKPM New York. Saat itu dia bilang minat investasi ke Indonesia tak menurun, cuma memang ada kendala di ‘lapangan’.

Saya intip data investasi asing ke RI menurut BPS per Maret 2024 masih bagus. Artinya sebetulnya RI masih seksi. Ini luar biasa karena menteri investasi ini menteri paling muda di antara kuartet Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI): Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Muhammad Lutfi.

Ajaibnya, Bahlil jujur mengakui kalau dirinya itu satu-satunya menteri investasi yang tak lancar berbahasa Inggris. Tapi, itu tak menyurutkan nyalinya untuk lobi investor. Hasilnya? Ya memang tak masalah! Karena persuasi tak melulu mensyaratkan lancar ber-wicis-wicis.

Karena meski tak fasih ngomong Inggris, Bahlil punya cara informal yang lebih mengena di hati para bohir. Selain itu, dia mendorong sistem agar investasi lebih pasti dan bisa lebih gegas. Masih ada masalah? Sudah pasti! Namanya saja proses improvement, tak bisa serta merta.

Dengan mengalirnya investasi ke RI sampai saat ini, wajar jika Bahlil jadi anak kesayangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pak Prabowo Subianto yang sebagai presiden berikutnya diwarisi beban pasca pemerintahan yang super agresif membangun infrastruktur.

Maka jika kini Bahlil dijadikan Menteri ESDM pesannya sudah jelas, setelah meraup investasi kini saatnya Bahlil mengatasi masalah di ‘lapangan’ artinya komitmen investasi harus direalisasikan. Jika ada masalah maka itu tanggungjawab Bahlil.

Togutil bukanlah eksil

Sayang Banda, tempat kelahiran Bahlil bukan tujuan saya, obsesi saya adalah bersua suku Togutil. Mereka adalah saudara kita, masyarakat adat yang juga dikenal sebagai suku Tobelo Dalam. Mereka tinggal di di hutan secara nomaden di Kabupaten Halmahera Utara, Malut.

Jauh di timur Indonesia, Malut punya peran penting bagi perekonomian nasional berkat investasi di pertambangan khususnya nikel. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan nikel yang diproduksi dari Malut berkontribusi besar menyokong pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Data BPS menunjukkan Provinsi Malut dan Sulawesi Tengah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tahun lalu di atas rata-rata nasional. Kedua provinsi itu masing-masing menyumbang 20,49% dan 11,91% untuk pertumbuhan ekonomi secara year on year. Porsi terbesar tentu saja dari sektor pertambangan, khususnya tambang nikel.

Data Badan Geologi 2019 memaparkan bahwa Pulau Halmahera di Provinsi Malut memiliki kandungan cadangan nikel yang sangat berlimpah. Kandungan nikel di pulau ini tercatat 11,7 miliar ton dan cadangannya sebanyak 4,5 miliar ton.

Pulau Halmahera ini adalah pulau terbesar yang ada di Provinsi Malut yang memiliki lima kabupaten, yakni Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Halmahera Utara, dan Halmahera Tengah.

Kandungan mineral nikel yang jumbo itu, membuat Malut menarik bagi investasi. Presiden Jokowi bahkan pernah ke Halmahera Tengah untuk meresmikan salah satu proyek strategis nasional sekaligus menjadi obyek vital nasional.

Ada pula tambang milik investor lokal di Pulau Obi, Halmahera Selatan yang diklaim sebagai produsen nikel sulfat pertama di Indonesia sekaligus yang terbesar di dunia berkapasitas produksi 240 ribu ton per tahun. BUMN, PT Aneka Tambang juga tak mau kalah, tambangnya tersebar di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Halmahera Utara.

Nah pertanyaannya, ketika industri tambang yang sifatnya ekstraktif itu menggangsir Ibu Pertiwi, apakah Bahlil bisa memastikan tambang-tambang itu tetap ramah bagi lingkungan dan manusia, khususnya masyarakat adat Togutil.

Saya masih yakin investor tambang, apalagi investor asing pasti berusaha proper pada aturan yang ditetapkan. Tak hanya detail dan bertingkat, aturan yang ditetapkan pastilah detail. Repotnya, ketika ada persoalan, maka tudingan sepenuhnya diarahkan pada investor.

Salah satu contoh adalah saat saya berkunjung ke Kecamatan Weda di Halmahera Tengah, ada banjir tahunan di wilayah itu. Tudingan enteng diarahkan pada tambang, padahal sesuai aturan, rekayasa fisik lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) ada di tangan pemerintah Pusat dan Daerah.

Ini jadi tantangan Bahlil mempersuasi koleganya di kementerian lain dan pemerintah daerah agar investor yang sudah proper tak melulu jadi kambing hitam–citra mereka terjaga–dan tambang yang menggerakkan ekonomi tak jadi momok bagi lingkungan.

Dan paling penting, jangan sampai terjadi suku Togutil yang selama ini hidup tenteram selaras dengan alam tercerabut serupa eksil: terasing, atau dipaksa meninggalkan kampung halaman serupa masyarakat Banda yang mengungsi akibat Perang Pala tahun 1621. Bahlil tentu tak buta sejarah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*