Persaingan Boeing dan Airbus sudah terjadi sejak 1990-an saat Airbus berhasil menandingi Boeing di pasar pesawat lorong tunggal lewat A320 dan pesawat lorong kembar melalui A330. Kompetisi keduanya semakin sengit saat memasuki abad ke-21 di mana B777 dan B787 berhadapan dengan A380 dan A350, walaupun pada akhirnya Airbus terpaksa menutup lini produksi A380 karena perubahan karakter pasar dan biaya bahan bakar bagi quad jet.
Saat ini Boeing mempunyai order backlog sebanyak 5.660 pesawat, sedangkan order backlog Airbus tercatat 8.600 pesawat yang mayoritas berasal dari pesawat lorong tunggal B737 MAX dan A320neo. Hal demikian dapat dipahami sebab kebutuhan pesawat untuk rute-rute jarak pendek ke jarak menengah jauh lebih besar daripada rute jarak menengah ke jarak jauh, apalagi ultra jarak jauh.
Di samping mempunyai lini bisnis pesawat komersial, Boeing dan Airbus memiliki pula lini niaga pertahanan dan ruang angkasa. Boeing sejak sebelum Perang Dunia Kedua sudah bergerak di lini bisnis pertahanan, kemudian akuisisi terhadap McDonnell Douglas membuat kepemilikan F-15 dan AH-64 beralih ke firma itu.
Sedangkan portofolio pada lini niaga pertahanan dan ruang angkasa di antaranya adalah C212, CN235, C295, A400M dan A330 MRTT serta secara tidak langsung Eurofighter Typhoon. Walaupun Airbus juga melakukan manufaktur helikopter yang digunakan untuk kepentingan militer, namun lini bisnis helikopter terpisah dari lini niaga pertahanan dan ruang angkasa.
Persaingan Boeing dan Airbus di lini pertahanan dan ruang angkasa merambat pula ke Indonesia. Kompetisi terjadi pada pesawat tanker, di mana pada MEF 2020-2024 terdapat program Pesawat Multirole Transport Tanker (MRTT) senilai US$560 juta yang ternyata diisi oleh A400M.
Untuk pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029, TNI Angkatan Udara mengusulkan program Pesawat Jet MRTT kepada Kementerian Pertahanan. Usulan demikian kini tengah dikaji oleh Kementerian Pertahanan sebelum diusulkan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas guna dicantumkan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029.
Meskipun pada MEF 2020-2024 Kementerian Pertahanan telah menandatangani kontrak dengan Airbus untuk akuisisi dua A400M dan opsi empat unit lainnya, Indonesia tetap memerlukan pesawat tanker merangkap angkut yang ditenagai oleh mesin turbofan.
A400M hanya bisa melakukan pengisian ulang bahan bakar di udara menggunakan mekanisme hose and drogue yang cocok untuk Rafale, Hawk 100/200 dan Su-27/30. Sedangkan F-16 membutuhkan mekanisme boom untuk melaksanakan isi ulang avtur, di mana KC-46 buatan Boeing dan A330 MRTT produksi Airbus dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua pesawat tanker mampu melaksanakan isi ulang bahan bakar di udara dengan mekanisme hose and drogue maupun boom.
Untuk program pesawat MRTT, Boeing dan Airbus akan berkompetisi di pasar Indonesia apabila Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyepakati usulan Kementerian Pertahanan. Bagaimana peluang kedua pabrik pesawat terbang untuk memenangkan pasar pesawat MRTT di Indonesia?
Firma manakah yang memiliki kesempatan lebih besar mendapatkan kontrak pesawat tanker merangkap angkut? Terkait hal tersebut, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh Kementerian Pertahanan dalam mengambil keputusan apabila program tersebut tercantum dalam Blue Book 2025-2029.
Pertama, rekam jejak. A330 MRTT mempunyai rekam jejak yang lebih bagus dibandingkan dengan KC-46, di mana pesawat itu tidak memiliki masalah-masalah teknis yang menghambat operasi. Meskipun lebih dari 70 unit KC-46 sudah diserahkan oleh Boeing kepada US Air Force, akan tetapi sejumlah permasalahan masih melingkupi pesawat yang mengadopsi dua engine buatan Pratt & Whitney PW4062, seperti wing aerial refuelling pods, boom dan Remote Vision System (RVS).
Sebaliknya, sekitar 60 A330 MRTT yang telah dioperasikan oleh para konsumen tidak memiliki masalah-masalah teknis signifikan, sehingga secara obyektif A330 MRTT ialah pesawat yang sudah matang dan terbukti dibandingkan KC-46.
Kedua, populasi pengguna. Selain Amerika Serikat, pengguna atau calon pengguna KC-46 adalah Jepang dan Israel. 15 negara saat ini tercatat sebagai pemakai dan atau pemesan A330 MRTT, termasuk Singapura, Australia dan Korea Selatan di kawasan Asia Pasifik.
Hal demikian menunjukkan bahwa A330 MRTT lebih disukai oleh sejumlah negara dibandingkan KC-46, di mana sebagian besar operator pesawat jet yang ditenagai oleh dua engine Rolls-Royce Trent 772B justru adalah sekutu Amerika Serikat.
Ketiga, populasi airframe di kawasan Asia Pasifik. KC-46 dan A330 MRTT adalah varian pesawat lorong kembar B767 dan A330, di mana populasi A330 di kawasan cukup banyak karena menjadi pilihan maskapai-maskapai penerbangan untuk dioperasikan pada rute jarak menengah.
Hanya Japan Airlines yang tercatat sebagai pemakai B767 terbanyak di kawasan ini, sedangkan maskapai-maskapai besar lainnya lebih memilih menggunakan A330. Dibandingkan dengan produk Boeing lainnya seperti B777 dan B787, B767 bersama B757 tidak populer di pasar penerbangan niaga berjadwal di kawasan Asia Pasifik.
Keempat, dukungan Maintenance, Repair and Overhaul (MRO). Populasi airframe B767 dan A330 di kawasan Asia Pasifik perlu diperhatikan karena hal demikian akan terkait dengan MRO KC-46 dan A330 MRTT di Indonesia.
Firma-firma MRO domestik seperti PT GMF AeroAsia memiliki approve certification untuk A330 seperti engine dan airframe maintenance, namun tidak mempunyai approve certification bagi B767. Ketersediaan perusahaan nasional yang memegang sertifikat MRO pesawat tanker merangkap angkut dibutuhkan agar Indonesia tidak tergantung pada firma MRO asing untuk menjaga kesiapan operasional pesawat yang dipilih.
Mengacu pada keempat aspek yang telah diulas, di atas kertas A330 MRTT memiliki keunggulan atas KC-46. Airbus dalam waktu dekat akan segera meluncurkan varian terbaru yaitu A330 MRTT+ yang berbasis pada airframe A330-800 dengan sayap yang diperkuat dan mengadopsi dua engine Rolls-Royce Trent 7000.
A330 MRTT+ memiliki efisiensi delapan persen lebih bagus daripada A330 MRTT. Indonesia berpeluang mendapatkan A330 MRTT+ apabila memilih airframe baru daripada airframe A330-200 bekas pakai firma penerbangan niaga.
Masih menjadi pertanyaan apakah keempat aspek tersebut masuk dalam pertimbangan Kementerian Pertahanan atau tidak, sebab pengambilan keputusan dalam akuisisi sistem senjata bukan semata aspek teknis.
Jika Indonesia menganugerahkan kontrak kepada Airbus, apa keuntungan industri yang akan diberikan kepada Indonesia? Apakah Airbus akan memperbesar porsi pekerjaan aerostructure kepada sejumlah perusahaan Indonesia yang selama ini sudah menjadi global supply chain-nya? Pertanyaan serupa diajukan pula kepada Boeing seandainya Indonesia menetapkan KC-46 sebagai pemenang kontrak.