Buruh Ogah Disalahkan Upah Naik Jadi Biang Kerok Pabrik Tekstil Tutup

Aksi demonstrasi ratusan buruh di kawasan gedung kementerian tenaga kerja (Kemnaker), Jakarta, Kamis, (7/11/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Elemen buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dengan tegas membantah fenomena banyak pabrik tutup karena persoalan upah.


Sekretaris Jenderal FSPMI, Sabilar Rosyad menyebut tidak ada korelasi banyaknya pabrik tutup dengan upah yang tinggi. Justru dengan upah tingg  bisa menaikkan daya beli masyarakat.


“Menaker yang terdahulu, Ida Fauziyah menyampaikan, persoalan upah, pengupahan di Indonesia itu ada tiga faktor. Pertama, bagaimana upah itu bisa mempresentasikan daripada memenuhi kebutuhan hidup layak. Kedua, upah itu bisa menaikkan daya beli. Dan yang ketiga, bagaimana pengupahan ini bisa mengurangi disparitas upah,” kata Sabilar di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Jakarta, Kamis (7/11/2024).

Sabilar mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan itu sebetulnya untuk mengatasi tiga persoalan upah yang disebutkannya, namun ternyata masih belum bisa menjawab. Elemen buruh menggugat PP No. 51/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan telah dinyatakan bahwa formula penetapan upah minimum dalam aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.


“Upah tinggi tidak ada korelasinya dengan perusahaan tutup. Fakta membuktikan, Jawa Tengah yang perusahaannya banyak tutup itu upah terendah se-Indonesia raya. Tapi kenapa mereka tutup? Bukan karena upah tinggi, tetapi pemerintah tidak hadir melindungi dunia usaha di Indonesia. Itu yang terjadi. Kalau karena upah tinggi, mungkin Bekasi yang akan tutup duluan, bukan Jawa Tengah. Itu fakta,” tegasnya.


Menurutnya, jika memang pemerintah ingin meningkatkan perekonomian nasional, maka perlu ditingkatkan juga daya beli masyarakatnya. “Upah buruh harus tinggi, baru nanti daya beli naik, ekonomi jalan, konsumsi itu akan naik,” lanjut dia.


Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden KSPSI, Roy Jinto Ferianto menyebut persoalan upah dalam kasus pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) hanya kambing hitam saja. Dia menegaskan bahwa pailitnya Sritex bukan disebabkan karena upah yang tinggi, melainkan karena Sritex yang memang tidak mampu melunaskan utang-utangnya.


“Coba buktikan perusahaan mana yang tutup gara-gara bayar upah. Kita paham, pailitnya Sritex akan digiring karena momentumnya bertepatan dengan penetapan upah minimum. Sritex itu tutup karena gagal bayar utang kepada bank dan kepada supplier loh. Bukan karena upah. Jadi ini sengaja digiring,” kata Roy.


Katanya, tidak ada satu data pun sejak penetapan upah minimum ditetapkan ada perusahaan yang tutup karena tak sanggup bayar upah pekerjanya. “Yang ada adalah karena tidak ada order, yang kedua gara-gara geopolitik ekonomi internasional, dan ada utang piutang dengan bank yang gagal bayar, kemudian dipailitkan oleh pihak lain. Bukan karena upah,” lanjut dia.


“Nggak ada perusahaan yang tutup atau bangkrut gara-gara bayar upah. Presiden Direktur Sritex juga sudah menyampaikan bahwa Sritex bermasalah gara-gara Permendag 8/2024 (tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor),” tegasnya.


Perlu diketahui, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Berdasarkan putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.


Selain itu, pengadilan juga menyatakan batal Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).

https://gradishki.com/polska/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*